Cerpen "Surat Cinta Buat Spiderman"

Surat Cinta Buat Spiderman
Oleh: Sakti Wibowo

Yang saya hormati,
Nicky di tempat.
Assalamualaikum. . .
Ini surat keduaku, Nick. . . Semoga kamu tidak bosan untuk membaca. Sesungguhnya aku bangga terhadapmu. Semangatmu dalam mendakwahkan Islam sungguh luar biasa. Kau adalah sosok generasi muda yang pantas untuk ditiru.
Hanya saja, Nick... ini bukan berarti aku meremehkan semangat, lho...Toh, semangat dan keikhlasan saja yang dinilai Allah dalam dakwah. Berhasil tidaknya dakwah itu tidak mempengaruhi besar kecilnya pahala yang telah dijanjikan-Nya.
Oke,Nick... barangkali ini dulu suratku, soalnya aku kuatir kau tak punya waktu kalau aku berpanjang-panjang menulis surat. Jangan kiranya suratku ini membuat kamu hilang semangat dalam dakwah. Tetap berjuang Nick Sayang.

Wassalam
Dewa
***
Ini surat kedua, namun belum juga si Dewa Mabuk itu menjelaskan identitas dirinya. Bete kan?
“Kali aja dia naksir kau,Nick. . .!” komentar Nura, temn sekelas Nicky yang sebulan lalu mengikuti jejak Nicky, memakai jilbab.
Nicky cemberut.
“Yang bener aja! Ada angin apa dia naksir-naksir aku segala? Lagian, kalau bener dia naksir, dia harus siap-siap kecewa.”
“Lho, kenapa?” Nura cepat menukas lagi. “Lo udah punya yang lain, ya? Jangan bilang karena pacaran itu nggak boleh, Nick.... Kalau masalahnya itu, bisa aja kan kalian langsung menikah?”
“Bukan cuma itu,” jawab Nick. “Ia juga nggak fair. Kirim surat itu kan sama saja dengan bertamu. Orang bertamu tentu saja harus mengenalkan diri.”
“Eh, bukannya dia udah ngenalin diri? Tuh.... namanya Dewa, kan?”
“Yee ... emangnya cukup nama doang?”
“Terus, apa lagi, dong?” Nura bengong. “Tanggal lahir? Nama orang tua? Sekolah? Hobi?” Kali ini ditambah dengan aksi menepuk kening, “Lo kayak orang mau sensus aja. Jangan-jangan malah lo yang pingin tahu lebih banyak tentang Dewa.”
“Yah... penginnya sih gitu.”
Nura tambah melongo...
Nick mengedip-ngedipkan matanya. “Penginnya, siiih....! Bagaimanapun kan wajar kalau aku pengin tahu orang kayak apa yang berani-beraninya naksir aku. Ini sih bener-bener keisengan orang, deh. Dia juga sebenarnya hanya orang-orang kita aja, Cuma pake nama samaran. Tidak berani memakai nama terang itu saja sudah menjadi indikasi yang kurang baik.”
“Teman-teman kita? Lo yakin? Atau ... Cuma menebak-nebak aja?”
“Tentu saja dia teman kita. Soalnya dia kenal betul siapa aku. Dia tahu aktivitasku. Teman kita mana ada yang namanya Dewa? Jelas ii Cuma nama samaran aja. Dia punya maksud-maksud lain selain pesan dalam surat itu. Ya... barangkali benar, dia memang naksir.”
Kali ini, Nura memutuskan untuk tidak melongo, melainkan menghela napas. “Terlepas dari benar tidaknya tindakan si Dewa Mabuk itu, sebenarnya apa yang ia katakan dalam surat itu tidak salah,” simpulnya. “Dakwah tidak sekadar membutuhkan semangat. Seperti orang berjualan baju, tentu lebih bergengsi kalau baju dipak dalam tempat yang bagus, dipalstikin dengan plastik yang bagus. Bukan begitu?”
“Maksud kamu?” tanya Nicky.
“Maksudnya,” sambar Desi, “akan lebih baik kalau lo dipalstikin.” Lantas, tanpa merasa berdosa, desi menyeruput es campurnya.
“Nyamber aja kerja kau, Des,” ujar Nicky gondok. “Kau bilang udah mau tobat mulai bulan depan, eh ... kebiasaan nyamber nggak juga kau kurangin.”
Desi menjulurkan lidah membersihkan bibirnya dari es campur. “Pertama,” katanya seraya menunjukkan jari telunjuknya, “Bulan depan masih lama.”
“Dan ... kedua?” kali ini Nura.
“Bulan depan masih lama.” Desi berkacak pinggang dengan gaya jumawa. Mulutnya bersiul-siul tanpa suara.
“Huuu... Dasar orang pelit. Alasannya juga pake pelit. Dasar pelit lo itu udah bawaan orok kali....”
“Tunggu...! Tunggu...!” Nick cepat merentangkan tangan persis aba-aba wasit dalam acara fightersedang melerai dua fighternya. “Lebih baik, bakat berantem kaliandisalurkan di arena aja, deh, jangan di sini.”
Patuh, dua ‘fighter’ itu menuju sudut arena masing-masing.
“Sekarang,” lanjut Nick, “kamu jelasin deh, Ra... sebenarnya maksud kamu tadi apa.”
“Oke......” Nura berdehem.
Belum sempat Nura melanjutkan, kembali Desi nyamber, “Pan sudah aye bilang....”
“Ssst...!” buru Nura seraya menyilangkan jarinya tepat di depan hidung Desi.
Desi urung mengulang pendapatnya tadi tentang saran Nick diplastikin aja. Tapi, asal tahu aja, Desi berhenti bukan karena silang tangan Nura, tapi lebih karena keharusan ia segera mengambil kertas tissue dan mengelap wajahnya dari rinai desis Nura.
“Maksud gue,” lanjut Nura setelah berhasil menundukkan Desi, “lo harus mengemas dakwah lo sebaik mungkin. Bekal semangat aja tidak cukup. Berilah daya pikat pada dakwah tersebut.”
“Dengan?”
“Plastik yang baik...!” sambar Desi sambil terkekeh. Ia merasa menang kali ini karena telah siaga menghindari desisan maut Nura.
Tapi ... ia justru ternganga oleh sebab kali ini Nura malah memberi aplaus. “Tepat...!”
“Aku?” tunjuk Nicky pada dirinya sendiri.
“Kemasan lo harus lebih menarik. Penampilan, Nick....!”
“Maksud kamu,aku kudu dandan,gitu?”
“Bukan dandan, Nick. Memangnya penampilan itu hanya sekadar berdandan aja? Banyak hal lain. Contoh gampang aja, kerapian. ”
“Betul, Nick...!” sambung Desi. Dia masih terharu dengan kebaikan Nura barusan. “Di mana-mana, barang yang diplastikin itu lebih terlihat rapi. Ya, Ra?” ia meminta persetujuan dari Nura atas tema kalimatnya yang tak juga bergeser dari plastik dan plastik.
Nura ngelirik sebentar, “Lo ngebaik-baikin gue pasti lo punya maksud lain, deh. . .!”
“Udaaah. . .” Nicky mengangkat tangandengan telunjuk lurus ke angkasa, gayanya bak Pak Polisi sedang memberi tembakan peringatan.
“Iya, ini juga udah,” balas Nura. “Eh, kembali ke masalah kerapian tadi, Nick. Yaaa... ini gua ngomong sebagai temen, artinya bener-bener karena gue pengin lo perbaikin kesalahan lo.”
“Kesalahan apa? Kamu bilang jujur aja deh sama aku. Pake basa-basi kamu ngalahin orang Solo.”
“Oke, tapi lo janji nggak marah,ya?”
“Lho, emangnya selama ini kamu penah lihat aku marah?”
“Brrr. . .!” Nura dan Desi sontak menggembungkan pipinya dan saling berpandangan dengan ekspresi tidak mengerti: Nicky nyadar ama ngomongannya enggak, sih?
***
Apa yang dibilang Nura memang benar. Paling tidak, Nicky terus memikirkannya malam itu. Kerapian. Hal yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
“Tata yang bener piringnya, Nik,” pesan ibunya selalu setiap ia usai mencuci piring.Tapi, begitulah. Ia jarang hirau. Piring bersih baginya sudah cukup. Daripada buat merapikan rak –yang toh tak sampai sehari juga sudah berantakan lagi-Ia lebih suka ngepel, menyapu lantai atau pekerjaan lainnya yang menurutnya lebih urgent!
“Niken, kamu nggak nyetrika seragam sekolah?” tanya ibunya lain waktu, namun seperti biasa, ia hanya mengedikkan bahu. “Nggak begitu kusut kok, Bu. Nick sekarang mau ngajar TPA, kasihan nggak ada orang. Lagian kusut atau tidaknya baju Nick, tidak akan mengurangi semangat Nick buat belajar.”
Ibu hanya mengangkat alis dan ber- “ooo” panjang.
Nicky, nama aslinya Niken Saraswati. Entah darimana ia mewarisi nama Nicky, dan entah darimana pula sifat cuek dan keras semacam ini. Kendati tak begitu berada, keluarga Nicky termasuk keluarga bahagia dan harmonis. Niicky anak pertama, punya adik yang masih bayi. Ayah Nicky karyawan biasa sebuah perusahaan elektronik.
Sejak dua bulan lalu, Nicky memakai jilbab setelah sebelumnya ia tertarik untuk terlibat aktif dalam kegiatan Rohis sekolahnya. Seperti biasa, sang ibu hanya menyerahkan keputusan itu pada Nicky.
“Kamu sudah pikirkan pilihanmu?”
“Sudah, Bu. Hasilnya tidak ada alasan bagi Nick untuk tidak memakai jilbab.”
“Baiklah. . . Ibu bisa mengerti.”
“Hanya itu?” alis Nick terangkat. “Kok, sepertinya Ibu kurang suka?”
Ibu hanya meliriknya sebentar lantas kembali pada pekerjaannya melipat baju. “Jangan lantas disimpulkan begitu. Orang tua mana yang tidak suka kalau anaknya melaksanakan perintah agama?”
“Tapi. . “
“Tapi . . Ibu hanya ingin wanti-wanti bahwa kau harus menjaga citra jilbabmu itu kalau kau memang sudah memutuskan untuk memakainya. Pertama, kau tak bisa seenaknya buka tutup jilbab. Kau tak boleh melepaskannya lagi kalau sebulan kemudian kau merasa bosan dan memakainya lagi pada saat kau suka.”
“Tentu saja tidak.Saya kan tidak memakai jilbab karena mengikuti tren, tetapi....”
“Itu bagus. Artinya, kau menyadari hal ini sebelum kau memutuskan. Kalau kau sudah putuskan memakai jilbab, kau juga harus memperbaiki sikapmu agar tidak membuat citra buruk bagi orang berjilbab.”
Waktu itu Nick mendengus.
“Pertama,” lanjut Ibu, masih sambil melipat baju, “Kau tidak lagi boleh tertawa lebar sembarangan. Kedua, kau harus mengurangi kebiasaanmu shalat ditunda-tunda. . . ” dan masih banyak lagi pesan- pesan ibu untuknya.
“Kenapa?” Nick menyelak. “Pertama, tertawa itu bukan hal yang dilarang agama,” bantahnya, “dan kedua, tentang menunda shalat itu..... karena.....”
Untunglah Ibu sangat demokratis. Beliau hanya tersenyum melihat putri sulungnya itu. Memang begitulah watak Nick. Lantas, beliau bangkit mengangkat setumpuk baju seraya mengucak kepala Nick. “Bantu Ibu merapikan kamar, yuk....!”
Begitulah. . . .
Sementara itu, tentang surat cinta dari Dewa Mabuk itu memang tidak ditunjukkannya pada Ibu. Tentu saja Nick malu. Entah bagaimana komentar Ibu kalau beliau tahu ada orang yang mulai mengomentari ‘kerapian’ Nick yang selama ini selalu disindir-sinir Ibu. Tapi, bukan berarti Nick tidak mendiskusikannya dengan ibunya, lho...! Siang itu, sepulang Nick dari sekolah, seperti biasa, ia membantu ibunya menyelesaikan pesanan bedcover sebuah toko meubel.
“Tentu saja seorang muslim itu dituntut untuk rapi, Nick...!” komentar Ibu setelah Nick panjang lebar membuka diskusi.
“Tapi, apa itu tidak berlebihan, Bu? Islam itu kan mudah. Kenapa harus dibuat sulit atas nama jilbab, dakwah dan sebagainya? Kalau beban seorang jilbaber harus seberat itu; tampil anteng, bersih, rapi, indah... apakah itu tidak justru mengendurkan niat orang-orang untuk berjilbab? Ayat dan hadistnya kan jelas jilbab, pakaian yang menutup aurat, tanpa embel-embel bersih dari kotor dan noda, disetrika sampai licin macem jalan tol.
Lagipula masalah rapi atau indah itu kan sesuatu yang relatif, nomor-nomor tidak terukur dan tak ada batasan yang jelas untuk masing-masing orang. Apalagi, rincianya tidak disebutkan dalam hadist ataupun ayat Al-Quran. Misalnya yang rapi itu mana dan yang nggak rapi itu yang mana.”
“Ah masa?” goda Ibu. “Kan ada hadist tentang Allah itu indah dan menyukai keindahan, tentang anjuran Rasulullah pada seorang istri agar merapikan diri di hadapan suami supaya sejuk dipandang.”
“Nah.... itulah, Bu. Muslimah memang diwajibkan tampil cantik di hadapan suaminya. Tapi jangan sampai salah penempatan. Memang dianjurkan berdandan di dalam rumah. Memang dianjurkan memakai wangi-wangian saat duduk bersama suami.
Tapi, bukankah bila keluar ia bisa mengundang fitnah dan derajatnya sama dengan wanita pezina? Ada beberapa hal yang hanya berlaku dalam keluarga dan tidak untuk semua tempat. Ini yang sering dipukul rata.”
Ya ampuuun ... Nick kalau sudah orasi nggak tanggung-tanggung, nggak ngelihat siapa lawan bicaranya. Bener-bener, deh ...
“Bukan terus diartikan begitu, Nik,” Ibu berusaha menurunkan suaranya. “Hal pertama yang merugikan apalagi seorang muslimah apalagi aktivis dakwah tampil alakadarnya, adalah kesan bahwa Islam tidak menghargai kerapian dan penampilan. Islam itu nyaris disamakan dengan kekumuhan dan kemasabodohan. Hal kedua, orang akan tidak bersimpati pada orang tersebut karena semau gue dan terkesan tidak peduli pada diri sendiri. Kan ada, tuh, lagu zaman dulu yang syairnya begini : bagaimana kau menyayangiku sedang dirimu tak kau sayang. Mabuk lagiii.......”
Nick tambah manyun. Sebenarnya ia pengin nyodok dengan argumen lain tentang musik yang begini dan begitu serta lagu yang juga begini dan begitu, sebagaimana yang akhir-akhir ini mencari tema hangat perbincangan di Rohis. Tetapi Nick mengurungkan niatnya itu karena ia khawatir tema pembicaraan akan beralih sebelum tema pertama selesai dibahas.
“Ibu... kan Islam menganjurkan untuk melihat apa yang disampaikan dan bukan siapa yang menyampaikan?”
Ibu menghela napas. “Sudahlah. Sebaiknya kembalikan saja pada hatimu. Semua amal itu kan kembali pada niat. Termasuk niat kamu untuk tidak pelu tampil rapi itu. Kalau alasanmu itu untuk menjaga diri dari fitnah, maka kamu akan mendapat pahala darinya. Tapi kalau niatmu karena cuek dan masa bodoh apalagi karena malas, maka kau akan mendapat balasan darinya pula.”
***
Ternyata, ucapan Ibu yang sederhana itu cukup telak mengena di hati Nick. Entahlah, ia mulai merasa ucapan orang tuanya itu benar adanya bahwa alasan yang lebih tepat untuk hatinya adalah apa yang disebut terakhir oleh Ibu.
“Pertama,” katanya pada Nura, “Aku memang kudu memperhatikan kerapian.”
“Yes...! Horeee...! Artinya, gua nggak perlu kuatir lagi kalau lo pinjem buku gue.”
“Apa?”
“Lo tahu tidak? Gue tuh sebenernya sebel ama lo gara-gara kemarin lo pinjem novel Islami milik gue. Itu buku baru gue beli. Belum ada yang pinjem selain lo, jadi jelas modal gue belum balik.”
“Hubungannya?”
“Lah... lo pura-pura nggak ngerti lagi. Pan lo tahu sendiri, itu buku udah dekil gara-gara jatuh ke tangan lo.”
Je-elah...! Nicky tertegun dan diam cukup lama. Rasanya ingin ia meminta maaf pada Nura, tapi...”
“Sudahlah! Gue tahu lo mau minta maaf. Gue udah maafin karena gue tahu lo sahabat gue. Cumaaa.....”
“Iya, aku ngerti. Tapi.....”
Sejak hari itu, Nicky berusaha lebih jeli memperhatikan kerapian. Ia semakin rewel memperhatikan kerapian.Ia semakin rewel dengan setrikaan, dengan noda tinta pada saku baju, pada noda saos pada lengan atau ujung jilbabnya, dengan coretan-coretan tidak proporsional pada pinggir buku catatannya ataupun mejanya di sekolah, dengan....
***
Nick Sayang... Kau tahu tentang kebun bunga yang tiba-tiba diboyong ke podium oleh seorang daiyah tempo hari?
Bengong, Nick mendekatkan wajahnya pada kertas surat itu. Surat dari Dewa kali ini cukup tebal. Berlembar-lembar.
“Woi... Dewa Mabuk itu punya foto lo, Nick...!” tunjuk Nura.
Benar! Surat itu ditulis dengan komputer, dan di lembar kedua turut tercetak gambar Nick saat mengisi acara mentoring untuk adik tingkatnya di aula sekolah beberapa hari lalu.
“Kebun Bunga?”
“hahahaha.....!” Desi tak kuasa menahan tawa. Pahamlah mereka dengan maksud Dewa akan kebun bunga tersebut.Seminggu lalu memang ada peristiwa lucu seputar pakaian Nick.
Bukan.... bukan tidak disetrika. Licin habis malah, karena kali ini Nicky perhatian betul pada pakaian dan rajin menyetrikanya. Tapi, Kawan, coba lihat paduan warna itu. Nick memakai gamis bermotif bunga mawar kecil-kecil yang tengah mekar segar, merah menyala di beberapa bagian. Lantas, rok model clock yang ia kenakan bukan lagi senada tapi sepaham dengan sang gamis. Bak dua kapling bunga berdampingan karena rok mini itu bermotif kembang ceplok bunga alamanda dengan dasar krem. Kelopak alamanda bewarna kuning itu terpangpang besar-besar dan jarang-jarang di seluruh permukaan
“Tapi....” Nicky tercekat.
“Untung nggak ada yang punya inisiatif menyiram bunga itu agar tetap segar ya, Nick?” lanjut Desi dengan ngakak.
“Tapi.... siapa gerangan si Dewa Mabuk itu?”
“Yup. Padahal, acara ini hanya khusus putri, kan?”
“Mungkin dia menyamar menjadi....”
“Spiderman...!” selak Desi yang kali ini terbebas dari desisan Nura.
***
Sejak hari itu Nick tak mau lagi mengenakan pakaian dengan motif bunganya. Ia kini getol mengajak Nura dan Desi ke pasar untuk membeli pakaian dengan warna-warna polos, tanpa motif.
“Lo suka bener warna-warna terang begini, Nick...?” komentar Nura saat Nicky memilih sebuah gamis warna merah cabe.
“Bukannya seneng yang seger-seger begitu, Nur. Cuma, apa nggak bosen kalau semua warna pucat pastel seperti saran kamu?’
Tapi, memang benar sih kata Nick. Dari kemarin, ia sudah menghindari warna pucat. Soalnya, Desi protes habis. “Kehabisan bahan pewarna, ya, Nick? Baju lo coklat susu, bawahannya coklat kayu, dan jilbabnya coklat kardus. Kulit lo aja yang coklat gosong. Kalo lo berdiri di samping tumpukan kardus, lo udah nggak ada bedanya, deh.....”
Sebenernya Nick sudah amat sangat capek dengan semua itu. Ia capek diledek-ledek. Apalagi kalau datang surat dari Dewa yang menurutnya seperti wasit busananya. Selalu saja ada yang dicela. Sesekali memuji dikit emangnya kenapa, sih?
Dan, sebulan kemudian, surat dari Dewa itu datang lagi.
“Nona Spiderman yang baik ... semakin hari, aku semakin bangga padamu. Aku melihat potensi besar pada dirimu, yakni potensi untuk menjadi orang besar.”
Desi ngakak membaca surat itu yang langsung dihadiahi desisan maut Nura. “Lo kenapa pake ketawa mengguncang dunia begitu? Kemarin lo bilang bulan depan masih lama. Sekarang itu nggak bisa lo pake jadi alasan.”
Nicky hanya diam, berusaha merenung sebelum melanjutkan membaca ke alinea berikutnya.
“Ra, gimana gua nggak ketawa, coba? Ini ... yang bener aja! Nona Spiderman? Spidergirl, kali? Eh, bukan. .. Spiderwoman, diing ...!”
“Sudahlah ...!” komentar Nick lesu. “Apa yang ditulis Dewa Mabuk itu memang bener.”
“O-o?” Nura bengong. “Maksud lo?”
“Ya ... benar kalau Nicky ini Spiderman ... eh, Spider apa, ya?”
Sebel, Nura melirik Desi. “Kebiasaan lo nyamber harusnya udah kena seprit, dah..! Ngasih kesempatan orang lain bicara ngapa? Bulan depan tinggal dua hari lo masih juga belum belajar tobat.”
“Yeee...!”
“Ya...!” potong Nick, “kalimat Dewa itu memang benar. Aku memang berpotensi menjadi orang besar.”
Olala...! Dua karib itu menganga tanpa suara. Nicky sadar ama ucapannya nggak, sih?
“Tapi, gue masih curiga sama julukan Nona Spider itu, Nick. Maksudnya apa sih?”
Nicky mengetuk-ngetuk keningnya tanda berpikir keras. “Mungkin... maksudnya aku ini orang yang hebat, kayak Spiderman juga kan hebat, tuh..!”
“Ah, lo bisa-bisanya ngarang aja, deh,” Nura menghadiahinya dengan tonjokan. Ia segera melirik Desi. “Lo tahu nggak? Tumben lo nggak nyamber-nyamber lagi?”
Rupanya Nicky juga merasa heran dengan ‘keantengan’ Desi kali ini. Gadis dengan lesung pipit yang tengah ambil ancang-ancang untuk mulai bejilbab dua hari lagi itu, tampak mengerutkan keningnya. Matanya menatap tajam wajah Nicky.
“Ada apa, sih?”
Desi tampak serius. “Sebentar.” Tangannya terangkat dengan gerakan yang tidak teratur. “Coba... kalau misalnya di wajah lo itu ada kerut-kerut begitu... ya, benar begitu. Terus, umpamanya kerut-kerut itu seperti garis-garis, atau... eh, iya, garis-garis aja. Terus,coba paduin sama foto lo yang di scan si Dewa di dalam surat itu.”
Dua pasang mata itu segera memburu gambar kabur yang dicetak dengan tinta murahan oleh Dewa. Ya... tepat. Seorang gadis dengan gamis bewarna biru terang dan jilbab merah menyala tengah berdiri di atas podium. Tangan kanannya terkepal dan diangkat seperti tengah meneriakkan: Allahu Akbar...!
Tapi... keduanya masih belum ‘ngeh’.
“Seharusnya kan dari sini keluar jaring ya, Nick,” kata Desi sambil menunjuk tangan dalam foto itu seraya membayangkan Spiderman tengah bergelantungan di dinding luar gedung-gedung kota.
“Apa? Jadiiii....”
“Eh.. tapi, siapa sebenarnya si Dewa Mabuk itu?” tanya Nura.
Desi mendehem. “Yah, Spiderman kan nggak diwajibkan untuk selalu mengetahui siapa musuhnya.” Lantas, mulutnya mengerucut, bersiul-siul tanpa suara


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »